Penulis : Dani Febri
Pemerhati Politik Dan Demokrasi
Gambar : Gen Z Di Ambang Krisis Anxiety Disorder (Gangguan Kecemasan). Apa Solusinya? Lidinews.id |
Lidinews.id - Sejumlah laporan menunjukan krisis kesehatan mental diantara anak-anak, remaja, dan dewasa muda semakin meningkat. Tak hanya di Indonesia, secara global problem teratas yang dialami Gen Z adalah Anxiety Disorder (gangguan kecemasan).
Hasil Survey I-NAMHS mengatakan satu dari tiga remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Angka ini setara dengan 15,5 juta 2,45 juta remaja. Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi ke-5 (DSM-5).
Hal ini mengakibatkan pemuda yang mengalami gangguan mental kesulitan dalam melakukan aktivitas kesehariannya.
Hasil penelitihan ini juga menunjukan mayoritas gangguan mental yang dialami yakni gangguan kecemasan (anxiety disorder), diikuti dengan gangguan depresi, gangguan perilaku, dan gangguan stress pasca trauma.
Data di atas sangat membuat kita sejenak merefleksikan gagasan tentang defiden demografi yang akan dialami oleh kaum muda dan Indonesia Emas 2045.
Temuan lain dari I-NAMHS adalah bahwa kebanyakan (38.2%) pengasuh remaja memilih untuk mengakses layanan kesehatan mental dari sekolah untuk remaja mereka.
Di sisi lain, dari semua pengasuh utama yang menyatakan bahwa remaja mereka membutuhkan bantuan, lebih dari dua perlima (43.8%) melaporkan bahwa mereka tidak mencari bantuan karena lebih memilih untuk menangani sendiri masalah tersebut atau dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman.
Jika problem ini tidak segera ditangani akan berdampak serius terhadap diri kita sendiri. Di Indonesia orang yang mengalami diagnosis dini gangguan mental sering mendapat diskriminasi dan stigma yang buruk.
Maka dari hal itu penderita gangguan mental, lebih cenderung menyimpannya sendiri hingga berakibat menjadi bom waktu. Laporan lain juga mengatakan setidaknya anak muda yang mengalami anxiety disorder di sebabkan oleh faktor intern dan ekstern.
Faktor intern bisa disebabkan oleh genetik dari orang tuanya dan faktor ekstern biasanya disebabkan oleh trauma masa kecil, keluarga yang broken home, hingga traumatis perihal asmara.
Mereka yang mengalami kesehatan mental yang kritis tidak segan melampiaskan dengan seks bebas dan menyakiti diri sendiri, bahkan sampai melakukan bunuh diri. Tak heran data mengatakan kasus kematian dengan cara bunuh diri menjadi faktor tertinggi nomor dua kematian anak muda Indonesia.
Ada contoh kasus yang lagi ramai dijagad maya, dimana seorang mahasiswi Unnes baik, cantik, dan berprestasi ditemukan meninggal dunia dengan cara melompat dari lantai empat (Bunuh Diri) dengan meninggalkan pesan yang begitu dalam tertujukan pada orang tuanya. Ini adalah satu kasus dari sekian banyak kasus bunuh diri yang dilakukan oleh kaum muda.
Tidak ada maksud yang lain melainkan kita belajar bagaimana mengambil hikmanya, semoha beliau mendapat tempat terbaik disisi-Nya.
Dari contoh kasus di atas, kami ironis melihat faktor yang mendorong beliau melakukan bunuh diri. Mulai dari keengganan menceritakan masalah hidup yang dialami, beban tugas perkulihan yang begitu padat, hingga hubungan romansa yang hanya dijadikan objek pemuas nafsu belaka. (dilansir dari akun Tik Tok almarhumah sebelum meninggal dunia).
Realitanya viralnya kematian beliau mendapatkan perhatian publik yang begitu heboh. Tak sedikit juga, komentar netizen juga melontarkan keinginan untuk melakukan hal yang sama. Kondisi yang harus menjadi consen utama bagi pemerintah supaya bisa mengurangi angkan gangguan kecemasan yang dialami anak muda.
Lalu apa yang bisa kita renungkan agar diri kita memiliki pertahanan ketika gangguan kecemasan yang dewasa ini menjadi krisis Gen Z?
Sigmund Freud mencoba memberikan teoritis bagaimana mekanisme pertahanan manusia untuk melawan rasa kecemasan yakni ;
a) Represi
Freud menejelasan ketika diri kita di hadapan oleh sesuatu yang membuat kita tidak nyaman, maka secara spontanitas diri kita melakukan proses pelepasan dari kondisi tersebut.
b) Reaksi Formasi
Reaksi formasi adalah bagaimana mengubah suatu impuls yang mengancam dan tidak sesuai serta tidak dapat diterima norma sosial diubah menjadi suatu bentuk yang lebih dapat diterima.
Misalnya seorang yang mempunyai impuls seksual yang tinggi menjadi seorang yang dengan gigih menentang pornografi. Lain lagi misalnya seseorang yang mempunyai impuls agresif dalam dirinya berubah menjadi orang yang ramah dan sangat bersahabat.
Hal ini bukan berarti bahwa semua orang yang menentang, misalnya peredaran film porno adalah seorang yang mencoba menutupi impuls seksualnya yang tinggi.
Perbedaan antara perilaku yang diperbuat merupakan benar-benar dengan yang merupakan reaksi formasi adalah intensitas dan keekstrimannya.
c) Proyeksi
Proyeksi adalah mekanisme pertahanan dari individu yang menganggap suatu impuls yang tidak baik, agresif dan tidak dapat diterima sebagai bukan miliknya melainkan milik orang lain.
Misalnya seseorang berkata, “Aku tidak benci dia, dialah yang benci padaku”. Pada proyeksi impuls itu masih dapat bermanifestasi namun dengan cara yang lebih dapat diterima oleh individu tersebut.
d) Regresi
Regresi adalah suatu mekanisme pertahanan saat individu kembali ke masa periode awal dalam hidupnya yang lebih menyenangkan dan bebas dari frustasi dan kecemasan yang saat ini dihadapi.
Regresi biasanya berhubungan dengan kembalinya individu ke suatu tahap perkembangan psikoseksual. Individu kembali ke masa dia merasa lebih aman dari hidupnya dan dimanifestasikan oleh perilakunya di saat itu, seperti kekanak-kanakan dan perilaku dependen.
e) Rasionalisasi
Rasionalisasi merupakan mekanisme pertahanan yang melibatkan pemahaman kembali perilaku kita untuk membuatnya menjadi lebih rasional dan dapat diterima oleh kita.
Kita berusaha memaafkan atau mempertimbangkan suatu pemikiran atau tindakan yang mengancam kita dengan meyakinkan diri kita sendiri bahwa ada alasan yang rasional dibalik pikiran dan tindakan itu.
Misalnya seorang yang dipecat dari pekerjaan mengatakan bahwa pekerjaannya itu memang tidak terlalu bagus untuknya.
Jika anda sedang bermain tenis dan kalah maka anda akan menyalahkan raket dengan cara membantingnya atau melemparnya daripada anda menyalahkan diri anda sendiri telah bermain buruk. Itulah yang dinamakan rasionalisasi.
Hal ini dilakukan karena dengan menyalahkan objek atau orang lain akan sedikit mengurangi ancaman pada individu itu.
Selain cara memberikan pertahanan untuk melawan kecemasan diatas, ada cara lain yaitu dengan Psikoterapi berbentuk Cognitive behavioral therapy (CBT).
Terapi ini sudah terbukti efektif untuk mengatasi kecemasan sosial yang parah. CBT mebgajarkan apa yang menjadi faktor mereka mengalami kecemasan dan cara untuk mengendalikan kecemasan.
CBT akan menghadapkan mereka yang mengalami kecemasan dengan hal-hal yang mereka takuti. Kemudian, meningkatkan resiko ketidaksetujuan dalam situasi tersebut sehingga mereka dapat membangun kepercayaan diri bahwa dia dapat menangani penolakan.
Terakhir, terapis akan mengajarkan mereka teknik untuk mengatasi kecemasan. Pada tahap ini, mereka diminta untuk membayangkan hal apa yang mereka paling takuti dan kemudian di dorong untuk mengembangkan tanggapan konstruktif terhadap rasa takut dan ketidaksetujuan yang dialami.
Terapis biasanya akan mengajarkan teknik pernapasan untuk mengatasi kecemasan. Selain hal itu, pendekatan dengan cara relligius dan berusaha menyakini bahwa Tuhan maha penolong adalah salah satu dari sekian banyaknya cara yang ampuh.
Tetap semangat buat kita semua, menyakini bahwa hidup adalah keadaan yang profan (akan ada masanya) semua akan tiba pada titik kebahagian dan hal ini mempunyai start masing-masing dan terbitnya matahari sampai tenggelamnya matahari sudah ada garisnya mereka tidak terburu-buru tapi selalu konsisten berada di garis waktunya.
Kemudian, ketika kita tiba pada titik nihilsm, hanya ada satu ruang tempat kita menaruh harap, Tuhan.
Editor : Arjuna H T M
Gen Z Di Ambang Krisis Anxiety Disorder (Gangguan Kecemasan). Apa Solusinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar